Saya dan Payung Teduh

Akhir 2016 saya pernah bercerita sedihnya hati saya mendengar berita Banda Neira bubar dan saya bahkan belum sempat menonton mereka manggung. 4 hari yang lalu, saat saya sedang di Madiun. Saya membaca berita di linimasa mengenai keputusan mas Is mengundurkan diri dari Payung Teduh. Rasanya lebih sedih dari tahun lalu.

Payung Teduh bukan hal baru di list musik saya. Jauh sebelum ada Akad saya sudah menikmatinya, jauh sebelum mengenal Payung Teduh saya sudah menikmati lagunya, Menuju senja. Dari yang hanya di dengar hingga bisa melihat mereka dari jarak dekat, pernah saya alami.

Rasanya luar biasa sedih. Sampai-sampai saat saya menulis ini, sedang ada kabut di mata saya. 

Saya tidak ingat mulai tahun berapa saya menyukai Payung Teduh, karena tiba-tiba saya punya hampir semua lagunya di handphone saya. Menuju Senja adalah lagu pertama mereka yang saya dengarkan tetapi saya tidak tahu siapa mereka. Selang beberapa tahun saat saya duduk di bangku kuliah, saya baru tahu mengenai Payung Teduh dan keseluruhan lagunya

Pertama kali saya menonton mereka setelah saya dinyatakan lulus sidang skripsi. Sebagai hadiah, untuk pertama kalinya saya diperbolehkan nonton gig. Bahagianya luar biasa. Walaupun, saat itu tidak banyak penonton mengenal mereka karena kebanyakan adalah penikmat musik band besar lainnya yang menjadi bintang utama di acara tersebut. Saya dan dua orang adik saya berteriak berjoget dan bernyanyi diantara penonton yang menggerutu "AHHHH MARAI NGANTUK!!!!!" "YOOO NDANG MIDUN YOOO".
Ya memang kalau tidak paham lagu mereka, pasti mengantuk. Papa saya contohnya.

Favorit saya tentu saat saya nonton mereka bernusik di Lokananta, tempat yang kecil tetapi mempunyai penikmat musik yang satu frekuensi.
"Enak ya, kalau satu frekuensi semua gini" Ujar mas Is saat menyambut keriuhan kami yang tengah hanyut dalam lantunan musik mereka.
Waktu itu mas Is yang masih gondrong sempat bercerita dan berdialog bersama kami, rasanya dekat sekali. Hal yang selalu diharapkan dari sebuah acara musik.
Namun, september lalu, sepertinya akan menjadi cerita terakhir saya menonton Payung Teduh dengan formasi komplit bersama Mama dan adek-adek saya. Dibawah hujan deras yang mengancam membubarkan acara kala itu. Dibawah tudung jaket yang terasa berat karena air hujan.

Dan untuk pertama kalinya saya menangis sedih karena perpisahan sebuah grup musik.




Komentar